
Sewaktu saya kecil, orangtua saya menyimpan beras di sebuah gentong yang terbuat dari tanah liat. Gentong beras tersebut ada tutupnya serupa piring. Di bagian tutup tersebut ditaruh uang koin zaman dulu yang sudah tidak berlaku, lipatan kertas berbentuk segi empat berukuran kurang lebih 0,5 x 1 cm yang di tengahnya di-stapless. Orang-orang bilang itu isim untuk penolak bala sekaligus pelindung dan pembawa berkah bagi beras yang ada di dalamnya.
Kakak perempuan saya, ketika pertama kali menjadi pegawai negeri sipil suka mengeluh dengan "beras bagian" yang diterimanya. Bagaimana tidak, kualitas beras yang diterimanya rutin tiap bulan tersebut sangatlah buruk, banyak kutu dan berbau apek.
Zaman SMU, ibu saya membekali saya beras tiap kali pulang ke rumah. Untuk bekal di kost an, ujarnya.Beras yang saya bawa dicampur dengan beras yang dibawa kakak kelas teman sekost. Kami biasa berhemat di awal pekan,biasanya makan dengan mie instan. Namun menjelang akhir pekan, ketika uang kas iuran berlebih, kami bisa beli bakso atau sate.
Setahun terakhir ini, saya lebih menyukai nasi dari beras merah karena sifatnya yang tidak lembek. Kebiasaan ini bermula sejak saya diperkenalkan dengan menu makanan Sunda tradisional di daerah Punclut Bandung oleh rekan kerja saya.
No comments:
Post a Comment