Friday, March 25, 2011

Menikah, Proses Biologis atau Konstruksi Sosial?


Tulisan ini saya kutip dari buku Si Parasit Lajang karya penulis favorit saya, Ayu Utami. Saya kagum dengan gaya berpikirnya yang berkarakter:



Dialog 1
Pertanyaan : Apakah Anda menikah? Jawaban: Tidak. Reaksi : Ah, bukan tidak. Tapi belum. (biasanya dengan nada prihatin dan agak menghibur, seola memberi harapan bahwa kita bukan tak laku sehingga tak layak minder begitu).
Percaya atau tidak, bahkan dalam KTP, kolom status pernikahan akan diisi dengan pilihan ini : "menikah", "janda/duda" atau "belum menikah". Kita belum pernah menemukan pegawai kelurahanyang mengetik "tidak menikah". Padahal tak ada perbedaan dampak hukum antara belum dan tidak kawin. Moralisme telah masuk ke birokrasi.

Tapi ada persoalan linguistik juga di sini. Dan ini berawal pada tak adanya kala dalam Bahasa Indonesia. Pertanyaan dan jawaban "Are you married?" - "No" tidak menimbulkan persoalan apa pun dalam bahasa Inggris. Justru jawaban "not yet" yang membikin sedikit masalah.

Dialog 2

Jika kita menjawab "saya tidak menikah" dengan pede, reaksi umum akan berbeda.

Jawaban : Saya tidak menikah. Reaksi : Lho kenapa tidak mau menikah?

Ini juga persoalan linguistik lantarann tak ada past, present, future tenses dalam bahasa kita. Jawaban yang secara logis ada dalam kategori kala kini ditafsirkan juga sebagai kala depan. Tak ada dialog ini : "are you married? -- "No." -- "Why not?"

Jawaban : Saya tidak merasa perlu menikah. Saya tidak merasa perlu punya anak sebab penduduk sudah amat padat.

Reaksi: Masa? Apakah Anda pernah trauma? Pernah disakiti?

Jarang ada orang yang mau menerima penjelasan rasional mengenai ketidaknikahan. Di pihak lain, tak perlu ada penjelasan yang membenarkan perkawinan, meski statistik membuktikan perceraian. Seolah-olah perkawinan, yaitu rasionalisasi atas dorongan-dorongan yang tak rasional, adalah rasionalitas itu sendiri.



Sejak kecil kita melihat masyarakat mengagungkan pernikahan. Ironisnya, dongeng Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur, Pretty Women tamat pada upacara, tukar cincin, dentang lonceng, atau ciuman pada balkon. Artinya, tak ada dongeng tentang perkawinan itu sendiri.

Sesungguhnya pada titik dongeng berhenti, seorang anak diperkenalkan pada yang realistis. Yang tidak dicritakan itu. Yaitu, bahwa pernikahan tidak ideal. Selain kasih sayang, juga ada kebosanan, penyelewengan dan pemukulan. Tapi itu tabu dibicarakan. Sebaliknya, masyarakat mereproduksi terus nilai yang mengagungkan pernikahan. Mereka menempatkan jodoh sebagai titik takdir sejajar dengan kelahiran dan kematian. Suatu proses yang wajib dilalui manusia. Seolah-olah alamiah, bahkan kodratiah. Barangkali percintan memang amat romantis sehingga orang suka berkhayal bahwa mereka dipersatukan oleh malaikat. Perasaan melambung itulah mungkin yang membuat kita ogah mengakui bahwa lahir dan mati adalah proses biologis, sementara menikah adalah konstruksi sosial belaka.

Barangkali menikah tidak membawa keuntungan apapun, namun pilihan tidak menikah (dalam tatanan masyarakat kita) akan menimbulkan kerugian sosial.

No comments:

Post a Comment