Tuesday, August 23, 2011

Lilin Merah


Ada kalanya kesendirian menjadi hadiah ulang tahun yg terbaik. Keheningan menghadirkan pemikiran yg bergerak ke dalam, menembus rahasia terciptanya waktu.

Keheningan mengapung kenangan, mengembalikan cinta yg hilang, menerbangkan amarah, mengulang manis keberhasilan dan indah kegagalan. Hening menjadi cermin yg membuat kita berkaca, suka atau tidak pada hasilnya.

Lilin merah berdiri megah di atas glazur, kilau apinya menerangi usia yg baru berganti. namun, seusai disembur napas, lilin tersungkur mati didasar tempat sampah. hangat nyalanya sebatas sumbu dan usailah sudah.

Sederet doa tanpa api menghangatkanmu di setiap kue hari, kalori bagi kekuatan hati yg tak habis dicerna usus. Lilin tanpa sumbu menyala dalam jiwa, menerangi jalan setapakmu ketika dunia terlelap dlm gelap.

Berbahagialah, sesungguhnya engkau mampu berulang tahun setiap hari.



Selamat ulang tahun, belahan jiwaku....

Thursday, August 11, 2011

Kehilangan


Setiap kali saya kehilangan barang, ibu saya selalu bilang "kamu yang ikhlas, mungkin bukan rezeki, semoga Tuhan menggantinya dengan rezeki yang lain"

Kadang kala saya masih tidak bisa menerima dengan kesabaran yang diajarkan ibu saya. Jika kehilangan barang akibat kelalaian saya (benda kesayangan terjatuh tanpa sepengetahuan saya), saya masih bisa menerima, namun jika dicuri orang lain? sangat susah bagi saya untuk ikhlas. Begitulah ketika ---telepon genggam pertama saya hilang dicuri teman saya sendiri, atau ketika dompet saya dicopet sehabis nonton bioskop tahun yang lalu, dan kemudian kecopetan terulang selagi saya menunggu di pool travel sebulan yang lalu--- teramat sulit bagi saya untuk bisa ikhlas. Namun, kata-kata yang dilontarkan ibu selalu mampu membuat hati saya luluh dan ikhlas di kemudian hari. Pada akhirnya, saya terbiasa untuk mengikuti kata-kata Ibu ketika mendapatkan musibah kehilangan barang.

Namun ada satu hal yang tidak mampu saya kendalikan ketika kehilangan, yaitu kehilangan orang yang saya sayangi. Dan untuk yang satu ini, saya tidak pernah cerita pada Ibu. Jika saya kehilangan orang yang saya sayangi, saya selalu pendam di hati saya sendiri. Untuk sampai pada tahap ikhlas, saya perlu sangat lama untuk urusan yang satu ini, waktunya bisa dalam hitungan bulan bahkan tahun. Seperti halnya apa yang saya alami hampir tiga bulan ini, ketika rasa sayang saya sedang tumbuh, secara tiba-tiba saya harus kehilangan orang yang paling saya sayang, saya masih belum bisa ikhlas. Saya tahu, kehilangan kali ini adalah akibat kesalahan saya sendiri, namun kalaupun ibu saya mengeluarkan kalimat saktinya "kamu harus ikhlas", saya malah tidak yakin akan menurut aapa yang dikatakannya. Maafkan saya, karena ternyata saya masih sangat sayang dan tak ikhlas kehilangannya.

Tuesday, June 21, 2011

Mati Lampu


Saya dibuat tertawa geli ketika tadi sore terjadi mati lampu. Salah seorang crew saya --laki-laki--yang sedang membereskan gudang panik luar biasa. Bunyi kardus berjatuhan ketika ia berlari keluar gudang menuju keluar. Seorang crew --wanita-- yang sedang membereskan tas raket juga lari keluar dengan membawa tas raket saking paniknya.

Di toko lama, saya memiliki assisten yang juga takut akan gelap. Pernah sekali waktu lampu mati, ia dan seorang crew sedang berada di gudang. Sontak mereka kalang kabut sambil berteriak "Mamaaaaahhhhh.....", tumpukan kardus sepatu di area gudang dibuat berantakan ditabraknya. Saya pikir wajarlah mereka perempuan.

Nah yang bikin saya tertawa justru seorang crew saya (laki-laki), ia seorang pesulap dan ahli hipnotis.Ketika itu mati lampu sampai menjelang tutup toko. Saya masih menyelesaikan administrasi toko dan menyuruhnya untuk segera berganti seragam ke gudang. Saya meminjamkannya telepon genggam yang dilengkapi lampu senter untuk membantu menerangi gudang. Dia diam sambil bilang "Nanti saja sama Bapak...". Owalahhhh....rupanya ia takut.

Di satu sisi saya ingin tertawa (kenapa sih harus takut akan gelap?, apalagi seorang laki), namun di sisi lain saya juga belajar untuk menghargai phobia orang lain akan kegelapan. Mungkin mereka pernah punya phobia di masa lalu akan kegelapan. Sedangkan saya, dari kecil terbiasa dengan kegelapan.

Di desa saya, listrik baru mengalir ketika saya duduk di bangku kelas 3 SD. jadi sebelumnya saya terbiasa dengan kegelapan di malam hari. Bahkan karena saking terbiasanya saya dengan kegelapan, tidur saya justru akan lebih nyenyak tatkala lampu dalam keadaan mati.

Friday, June 3, 2011

Cium Tangan

Seminggu yang lalu saya dibuat tertegun takjub. Seorang lelaki bule masuk ke toko. Dia memberikan komentar "design toko Anda bagus", dan saya menjawab "terima kasih". Kemudian temannya datang, mereka masuk ke area display sepatu futsal. Setelah dibantu oleh seorang crew, akhirnya mereka bertransaksi sepasang sepatu. Ketika temannya bertransaksi di area kasir, bule pertama menghampiri saya di pintu masuk toko. Kebetulan lewatlah sepasang cowok-cewek. Yang cewek mengenakan tank top seksi, legging dan sepatu high heels, lengkap dengan dandanan menor. Sang bule tiba-tiba saja berujar "Cewek di kota ini nakal ya? pada senang selingkuh dan matre!", saya kaget, rupanya dia lancar berbahasa Indonesia, dan saya menjawab konyol "Ya, kebanyakan begitu, mereka senang memanfaatkan". Sang bule menimpali "Saya pernah berpacaran dengan orang sini, tapi saya tidak suka, meraka nakal". Saya bertanya, "Sudah berapa lama tinggal di sini?" "Setahun lebih," jawabnya.

Obrolan kami terpotong dengan selesainya transaksi temannya. Sang bule mengucapkan terima kasih terlebih dulu (kecolongan nih, biasanya saya yang duluan mengucapkannya). Dan tanpa diduga dia mengajak saya salaman, dan ---inilah yang membuat saya kaget sekaligus takjub--- dia mendaratkan tangan saya ke keningnya. Saya terdiam mematung sekaligus canggung. Inilah pertama kalinya tangan saya dicium penuh hormat oleh customer saya, bule pula.

Sedari saya kecil, tradisi cium tangan adalah dilakukan oleh orang yang usianya muda kepada yang lebih tua. Cium tangan kepada kedua orang tua saya adalah kebiasaan saya juga setiap saya akan berangkat meninggalkan rumah atau pulang dari bepergian. Cium tangan juga dilakukan jika bertemu kerabat saya yang usianya lebih tua. Di luar itu, saya hanya mencium tangan guru atau orang yang baru dikenal dengan catatan usianya jauh lebih tua dari saya.Kalaupun ada orang tua mencium tangan orang yang lebih muda, biasanya dilakukan untuk penghormatan kepada penguasa (presiden, gubernur, bupati, camat, lurah dan semacamnya). Maka di benak saya, cium tangan adalah sebuah bentuk penghormatan.

Maka, dengan diciumnya tangan saya oleh sang bule tadi, saya dibuat takjub. Kami baru beberapa menit bertemu. Saya tidak tahu nama dia siapa (walau mungkin dia tahu nama saya dari name tag/ID card yang saya kenakan). Dia juga baru setahun di negeri ini. Entahlah, apakah di negerinya hal tersebut biasa dilakukan atau dia mengaplikasikan budaya cium tangan di negeri ini namun tidak membedakan usia. Yang jelas, saya benar-benar tersanjung. Di saat budaya tersebut mulai memudar dan jarang saya lihat (saya jarang menyaksikan adegan tersebut dilakukan remaja atau orang dewasa selain kepada keluarga), orang asing ini justru menunjukkan tata krama yang begitu indah.

Thursday, May 19, 2011

Ketika Ia....., Maka Aku......

Ia bangkit berdiri
menghampiriku dengan senyum dikulum
memperkenalkan identitas
mengurai beragam kisah
menyelipkan impian dan harapan
dan aku tertawa


Ia bangkit berdiri
menggapaiku dan mengajakku
menyusuri jalan lengang
mengajariku bersikap dewasa
membimbing penuh semangat
dan aku terseyum

Ia bangkit berdiri
berpamitan dan beranjak pergi
menyisakan makna semangat, impian dan harapan
tanpa mungkin kembali lagi
dan aku termangu





Ia bangkit berdiri
dan aku berlari pergi
sadar diri

Hingga, aku....


Berlarilah berkejaran hingga,
memerah mukaku

Beralihlah tujuan hingga,
aku terkesima

Tuliskanlah kalimat hingga,
memar hatiku

Mekarlah kelopak bunga hingga,
sedu sedan mewarnai

Sambutlah perpisahan hingga,
gelisah menikam suasana

Kemaraukan gunung-gunung hingga,
pucuk-pucuk bersemi

Ulurkan kesaksian hingga,
dalam hampa ada angan

Berikan definisi hingga,
katalog luka sempurna

Bingkailah senyuman hingga,
tiada lagi warna

Pelangikan titik hujan hingga,
bait-bait menjadi semarak

Lemparkan pena-pena hingga,
hukum karma terbukti
mencemoohku dan raut mukaku



Saturday, May 14, 2011

Sepeda

Hayu Hejo

Seiring kesadaran manusia modern akan keseimbangan alam, beberapa tahun terakhir ini munculah gerakan "Go Green, Stop Global Warning" (saya sempat tersenyum ketika melihat sebuah billboard, gerakan ini di Bandung diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda "Hayu Hejo"). Maka menjamurlah produk-produk yang diklaim sebagai produk ramah lingkungan. Kantong plastik mulai dikurangi penggunaannya dan dibuatlah kantong yang dibuat dari bahan serat yang bisa dipergunakan kembali dan akan dengan mudah diurai jika dibuang ke alam.

Bike to Work

Gerakan ini pun membawa trend tersendiri dalam gaya hidup masyarakat urban. Lahirlah gerakan "bike to work", bersepeda ke tempat kerja. Selain untuk mengurangi polusi udara akibat asap kendaraan bermotor, gerakan ini juga menyadarkan kita untuk berolah raga alami (membakar kalori dengan berinteraksi dengan alam). Bahkan khusus di akhir pekan, banyak ruas jalan yang ditutup untuk kendaraan bermotor (Car Free Day), memberi kesempatan para pejalan kaki dan pengguna sepeda untuk menghirup udara pagi.

Sayangnya, niat hati ingin hidup sehat, namun ternyata tak didukung oleh kesadaran masyarakat lainnya. Lihatlah para pesepeda ini, ketika mereka mengayuh sepedanya menuju tempat kerja, bukan udara segar yang didapat, namun asap knalpot yang mengepul dari bus kota yang bikin sesak nafas. Belum lagi bahaya diserempet karena sopir bus kota yang ugal-ugalan mengejar setoran. Maka tempat paling aman untuk bersepeda adalah di area Car Free Day tadi atau keliling komplek perumahan yang sepi.

Saya dan Sepeda

Saya tidak pernah memiliki sepeda, tapi ayah saya pernah punya. Ia mendapatkannya ketika menjabat kepala dusun di desa. Ia suka membawa serta saya ke sawah. Saya suka sekali dibonceng di belakangnya sambil memeluk pinggangnya. Namun peangalaman indah itu tak berlangsung lama. Setelah masa jabatannya berakhir, sepeda tersebut dikembalikan ke desa.

Saya belajar naik sepeda dengan meminjam sepeda sepupu jauh saya, itu pun jika ia sudah kelelahan seharian main sepeda. Para tetangga mengajari saya main jangkungan (engrang) terlebih dahulu. Katanya saya harus belajar menjaga keseimbangan terlebih dahulu untuk belajar naik sepeda. Setelah jago naik jangkungan, maka saya mulai belajar naik sepeda. Bukan hal mudah, berkali-kali saya terjatuh karena oleng. Lutut saya memar ketika terjatuh. Namun karena keinginan untuk bisa menaklukannya, saya tak patah semangat dan terus mencoba. Akhirnya saya bisa mengendarainya. Melalui jalanan desa yang berbatu tubuh saya terguncang mengayuh sepeda kecil tersebut.

Sepeda dan Filosopi

Berdasarkan pengalaman kecil saya,maka saya dibuat terpaku oleh selembar brosur yang saya dapat ketika mengunjungi sebuah pameran kemarin. Stand pameran tersebut memang menyedikan berbagai perlengkapan untuk bersepeda. Di brosurnya ada kutipan kata-kata bijak, "Life is like riding a bicycle - in order to keep your balance, you must keep moving. (Albert Einstein / 1879 -1955)". Wowwww.....keren. Tepat sekali dengan apa yang saya alami ketika belajar naik sepeda dulu. Jika kita tidak mengayuh sepeda, sangat tidak mungkin kita bisa seimbang. Satu-satunya cara untuk mendapat keseimbangan tersebut, ya kita harus menggerakkan sepeda tersebut dengan mengayuhnya, mengendalikan stang dan mengendalikan posisi badan di atas sadel.

Begitupun hidup saya, saya harus tetap maju, menjalaninya, memperbaiki diri. Hayo semangat Soen!