
Setiap kali berangkat ke tempat fitnes, setelah turun dari angkutan kota, saya melanjutkannya dengan berjalan kaki. Sebenarnya bisa saja saya melanjutkan dengan naik angkot berikutnya, namun hal itu tidak saya lakukan, selain sayang dengan uang 1000 rupiah, saya juga merasa lebih enak dengan berjalan kaki karena setibanya di tempat fitness, keringat saya sudah keluar begitu pula suhu tubuh sudah meningkat dengan jalan kaki yang saya lakukan.
Yang sedikit membuat jengkel, setiap kali saya berjalan kaki, saya tidak menemukan trotoar yang membuat saya nyaman. Dahulu, ketika masih duduk di bangku SD di kampung, guru saya mengajarkan kalau berjalan di jalan raya perkotaan, kita harus berjalan di trotoar karena trotoar adalah tempat untuk pejalan kaki. Saya kemudian bertanya apa itu trotoar. Guru saya menjelaskan bahwa trotoar merupakan area di pinggir jalan raya yang dibuat khusus untuk para pejalan kaki, terbuat dari tembok atau pavin block yang dibuat lebih tinggi dari jalan raya, di bagian tepinya diberi garis sewarna kulit zebra, hitam putih. Guru saya juga mengajarkan bahwa jika kita berjalan di trotoar, kita harus berada di sebelah kiri arah yang kita tuju. Jadi jika kita menuju ke arah selatan, berjalanlah di sebelah timur jalan, dan seterusnya. Sebenarnya untuk yang satu ini, saya ingin protes, kenapa kita harus berjalan searah dengan kendaraan yang melintas lebih dekat dengan kita. Saya pikir itu "curang", bagaimana jika ada sopir mabuk yang tidak bisa mengendalikan kendaraannya. Saya tidak akan melihatnya karena berada di belakang saya. Lebih baik saya berjalan di sebelah kanan jalan sehingga kendaraan yang melaju di depan saya bisa kelihatan. Jadi dari kejauhan, kita dapat menghindari resiko tertabrak.
Masalahnya, di jalur jalan raya di tempat fitness saya berada, jalurnya satu arah/jalur. Maka pilihan saya untuk berjalan di sebelah kanan jalan tetap beresiko tertabrak dari belakang. Terlebih di sepanjang jalur tersebut, para pengendara terbiasa ngebut. Parahnya, trotoar di sebelah kiri-kanan jalan tidak ada yang membuat saya nyaman. Hilang sudah bayangan indah saya di masa kecil tentang trotoar yang lebar dan nyaman. Tak ada lapisan tembok atau pavin block yang rata, melainkan tumpukan kerikil bergelombang. Trotoarnya juga tidak lebar, terkadang saya juga harus terpaksa menginjak jalan raya sambil melihat ke belakang (takut ditabrak mobil/motor) karena perjalanan di trotoar terhalang mobil yang parkir atau pedagang kaki lima. Beberapa kali saya terkesiap, karena hampir terserempet mobil/motor yang melaju kencang.
Saya tidak mengalaminya di jalur tersebut saja. Peristiwa yang sama seringkali saya alami di jalan raya di pasar, depan pusat pebelanjaan, rumah sakit, terminal, stasiun dan tempat umum lainnya. Para pejalan kaki di kota besar sangat kesulitan mendapatkan trotoar yang nyaman. Bahkan sekarang banyak sekali bahu jalan ini dipakai untuk tempat orang berjualan (biasa disebut pedagang kaki lima). Adapun di jalur macet, trotoar kadang menjadi jalan "alternatif" pengguna motor untuk menerobos kemacetan. Maka saya dan banyak pejalan kaki lain hanya bisa pasrah dengan kondisi ini, dan sesekali mengumpat dalam hati jika perjalanan yang seharusnya menyehatkan tersebut, diusik dengan hambatan pedagang kaki lima atau ada motor yang melintas. Bagaimana pun mereka pasti punya alasan melakukannya (pedagang kaki lima mencari nafkah, pengendara motor sedang terburu-buru).
Apa tidak sebaiknya saya beli kendaraan saja? Ah, saya masih sayang kaki saya. Saya masih percaya jalan kaki lebih menyehatkan dibanding naik kendaraan (selain sepeda tentunya). Selain itu, saya pikir cukup sudah polusi yang ditimbulkan dari asap kendaraan bermotor, cukup sudah bahan bakar bumi diexploitasi untuk kendaraan, cukup sudah kemacetan akibat tiap orang berlomba mengoleksi kendaraan bermotor, cukup sudah orang-orang dibuat emosi karena motor yang masuk ke area trotoar (hal yang sangat mungkin saya lakukan juga jika punya kendaraan, karena sifat saya yang tidak sabaran). Wah, alasan saya makin berlebihan.